Metode mengajar
Jumat, 01 April 2022
Rabu, 30 Maret 2022
Senin, 23 September 2013
Metode Memahami Arti Tawakkal
Sebagian orang menganggap bahwa tawakal
adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat
kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan
ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk
menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan
main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”
Apakah
semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini
dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya
dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.
Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla
untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam
urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta
meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu
diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada
Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah
yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita
untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk
bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk
meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan
hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah
(ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal
(tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan
keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya
kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan
kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam
keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam
hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada
waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al
Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan
lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha
(sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah
Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus
meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang
akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan
rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari
rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah
kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba
tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat
mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin,
Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada
Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain
Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga
apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain
Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk
kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik
yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal
(bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk
melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada
makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di
akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan
oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini
dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan
hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan
termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang
makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan
apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan
(ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan
hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang
sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau
masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.
Tetapi
apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah
sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan
hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah
bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal
bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam
urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan
akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka
hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam
keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id
mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk
mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam
mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang
siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar,
dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa
yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.”
Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka
sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49). Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.
***
Sabtu, 20 Juli 2013
Hukum Membaca Al Fatihah Seorang Makmum
Hukum Membaca Al-Fatihah Seorang Makmum dalam Shalat Berjamaah -- Read Fatiha law of a congregation in a congregational prayer
4 Agustus 2010 pukul 12:25
Membaca
al Fatihah adalah diantara rukun-rukun shalat baik shalat fardhu,
sunnah, shalat jahriyah (dikeraskan suaranya) maupun sirriyah
(dipelankan suaranya) berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim dari 'Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al
Fatihah)."Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang bacaan al Fatihah bagi makmum. Para ulama Maliki dan Hambali mewajibkan membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian namun tidak bagi makmum. Sementara para ulama madzhab Safi’i mewajibkannya bagi imam dan juga makmum.
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 1740 menyebutkan bahwa pendapat jumhur ulama adalah makmum tidak perlu membaca al Fatihah dan tidak juga membaca yang lainnya (surat) di belakang imam didalam shalat jahriyah apabila dia mendengar bacaan imam. Mereka mendasari pendapatnya dengan :
1. Firman Allah swt :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf : 204) Terdapat riwayat bahwa para salafussholeh bahwa maksud dari ayat itu adalah mendengarkan bacaan yang dibaca imam.
2. Hadits Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Apabila dia bertakbir maka bartakbirlah kalian dan apabila dia membaca maka dengarkanlah.” Dan hadits ini terdapat di al Musnad dan yang lainnya dinukil dari Imam Muslim yang telah dishahihkan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib membaca al Fatihah bagi makmum baik didalam shalat jahriyah maupun sirriyah dibelakang imam berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan tentang kewajiban membaca al Fatihah tanpa membedakan antara imam dan makmum, sebagaimana hadits di ash shahihain dan lainnya dari Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi saw bersabda,”Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."
Dan yang lebih tegas lagi apa yang terdapat di sunan abi Daud, an Nasai dan lainnya dari hadits Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi saw shalat shubuh sepertinya bacaan beliau terasa berat. Seusai shalat, beliau bersabda: "Sepengetahuanku, kalian membaca di belakang imam kalian." Mereka menjawab; "Ya, wahai Rasulullah! (hingga) Kami menyusul bacaanmu dengan cepat." Beliau bersabda: "Jangan kalian lakukan kecuali Fatihatul Kitab (Al Fatihah) karena tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya."
Dari penjelasan diatas tampak bahwa hal tersebut masih menjadi permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama terdahulu maupun yang belakangan. Dan setiap kelompok memiliki dalil-dalilnya, dimana kelompok yang satu membantah kelompok lainnya dengan melemahkan dalil-dalil mereka atau tanpa dalil didalam permasalahan yang diperselisihkan namun hanya bersandar kepada pendapatnya.
Dengan demikian untuk suatu kehati-hatian maka hendaklah seorang makmum membaca al Fatihah di belakang imam didalam shalat-shalat jahriyah dan sirriyah untuk keluar dari perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama itu karena kelompok yang mengatakan wajib membaca al fatihah dibelakang imam memandang batal shalat seorang yang tidak membacanya. (Markaz al Fatwa No. 1740)
Dengan demikian jika anda shalat bersama imam dan memiliki kesempatan untuk membaca al fatihah hingga selesai sebelum imam ruku’ maka hendaklah anda membacanya hingga selesai. Akan tetapi jika anda belum selesai membacanya sementara imam sudah bertakbir untuk ruku maka hendaklah anda ruku bersamanya walaupun anda belum menyelesaikan bacaan al Fatihah tersebut dikarenakan tidak mungkinnya menyelesaikan bacaan tersebut, berdasarkan hadits Abu Hurairoh diatas.
Wallahu A’lam
Selasa, 09 Juli 2013
Guru wajib memiliki sikap ramah dan berlemah lembut
Sikap ramah dan
berlemah lembut
Allah
telah
menggambarkan tentang sifat NabiNya Muhammad S.a.w
bahawa
sesungguhnya Ia memiliki Akhlak yang Agung.
Firman
Allah: {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ {4} [سورة القلم].
“Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung”.
Allah
menggambarkannya juga dengan sifat ramah dan lemah lembut, Allah berfirman :
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ }[سورة آل عمران :159]
“Maka dengan sebab
rahmat Allah-lah engkau berlemah-lembut terhadap mereka, dan sekiranya engkau
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu”.
Allah
menggambarkannya pula dengan sifat berkasih-sayang dan santun terhadap
orang-orang yang beriman, Allah berfirman:
{لَقَدْ
جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ} [سورة التوبة
:128].
“Sesungguhnya
telah datang kepada kalian seorang rasul dari jenis kalian sendiri, amat berat
baginya segala yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan untuk kalian (segala
kebaikan), amat santun dan berkasih-sayang terhadap orang-orang yang
beriman”.
Dan Rasul S.a.w
sendiri
pun
memerintahkan untuk berlaku lemah-lembut dan menganjurkannya, beliau
bersabda:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ
تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan, dan sebarkanlah
olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu)”. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhary, no (69) dan Imam Muslim, no (1734) dari hadits
Anas.
Dan disebutkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya, hadits no (1732)
dari hadits Abu Musa Al Asy’ary dengan lafaz:
((بَشِّرُوْا
وَلاَ تُنَفِّرُوْا ويَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا )).
“Berikanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari
(darimu), dan hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (220) dari Abu
Hurairah r.a bahawa Rasulullah S.a.w berkata kepada para shahabat
dalam kisah seorang badawi yang buang air kecil dalam mesjid Rasulullah
S.a.w:
((دَعُوْهُ وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْباً
مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثُتْم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا
مُعَسِّرِيْنَ)).
“Biarkan ia, dan siramlah di
atas
kencingnya dengan setimba air, atau semangkuk
air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus
untuk menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam shohihnya, hadist no (6927) dari
‘Aisyah --رضي
الله عنها
bahawa
Rasulullah S.a.w
berkata
kepadanya:
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ
كُلِّهِ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai
kelembutan dalam segala urusan”.
Menurut lafaz Imam Muslim, hadits no (2593):
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى
الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا
سِوَاهُ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai
kelembutan, Ia memberi di
atas
kelembutan sesuatu yang tidak Ia beri dengan kekasaran, dan tidak pula dengan
selainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2594) dari ‘Aisyah
--رضي
الله عنها
bahawa
Nabi S.a.w
bersabda:
((إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْـَزعُ
عَنْ شَيْءٍ إَلاَّ شَانَهُ)).
“Sesungguhnya kelembutan tidak terdapat pada sesuatu melainkan membuatnya
indah, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan membuatnya buruk”.
Dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, hadits no (2592) dari Jariir bin
Abdillah
r.a
bahawa
Nabi S.a.w
bersabda:
((مَنْ يُحْرَمُ
الرِّفْقَ يُحْرَم.ُ
الْخَيْرُ))
“Barangsiapa yang diharamkan (mempunyai) sifat lemah-lembut
bererti
ia telah diharamkan terhadap kebaikan”.
Sesungguhnya Allah telah menyuruh dua orang nabi yang mulia; Nabi Musa
dan Nabi Harun untuk menyeru Fir’aun dengan sopan dan berlemah-lembut, Allah
berfirman:
{اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى {43} فَقُولَا لَهُ قَوْلًا
لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى {44}[سورة طه]
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui
batas (kesesatan), maka bicaralah
kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia
mendapat peringatan dan takut (terhadap Allah).
Allah menggambarkan tentang
sifat para sahabat yang mulia dengan sifat saling berkasih sayang antara sesama
mereka, Allah berfirman:
{مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ} [سورة الفتح : 29].
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya
bersikap keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama
mereka”.
Ayat dan hadis diatas sudah jelas, sikap ramah dan berlemah lembut harus diterapkan kepada siapa saja dan oleh setiap orang, baik kepada peserta didik maupun kepada sesama pendidik.
Ayat dan hadis diatas sudah jelas, sikap ramah dan berlemah lembut harus diterapkan kepada siapa saja dan oleh setiap orang, baik kepada peserta didik maupun kepada sesama pendidik.
Kamis, 13 Juni 2013
Tugas Kepala Madrasah
Tugas Pokok dan Fungsi KAMAD (Kepala Madrasah)
Kepala Madrasah berfungsi dan bertugas sebagai Edukator, Manajer, Administrator, Supervisor, Pemimpin/Leader, Inovator, Motivator
1. KEPALA MADRASAH SELAKU EDUKATOR
Kepala Sekolah Selaku Edukator bertugas melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif dan efisien (lihat tugas guru)
Kepala Sekolah Selaku Edukator bertugas melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif dan efisien (lihat tugas guru)
2. KEPALA MADRASAH SELAKU MANAJER mempunyai tugas:
- Menyusun perencanaan
- Mengorganisasikan kegiatan
- Mengarahkan kegiatan
- Mengkoordinasikan kegiatan
- Melaksanakan pengawasan
- Melakukan evaluasi terhadap kegiatan
- Menentukan kebijaksanaan
- Mengadakan rapat
- Mengambil keputusan
- Mengatur proses belajar mengajar
- Mengatur administrasi Ketatausahaan, siswa, ketenangan, sarana dan prasarana, keuangan / RAPBS
- Mengatur Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)
- Mengatur hubungan sekolah dengan masyarakat dan instansi terkait
3. KEPALA MADRASAH SELAKU ADMINISTRATOR
Bertugas menyelenggarakan Administrasi : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, kurikulum, kesiswaan, ketatausahaan, ketenagaan, kantor, keuangan, perpustakaan, laboratorium, ruang keterampilan / kesenian, Bimbingan Konseling, UKS, OSIS, serbaguna, media, gudang, 10 K
Bertugas menyelenggarakan Administrasi : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, kurikulum, kesiswaan, ketatausahaan, ketenagaan, kantor, keuangan, perpustakaan, laboratorium, ruang keterampilan / kesenian, Bimbingan Konseling, UKS, OSIS, serbaguna, media, gudang, 10 K
4. KEPALA MADRASAH SELAKU SUPERVISOR
Bertugas menyelenggarakan Supervisi mengenai :
Bertugas menyelenggarakan Supervisi mengenai :
- Proses belajar Mengajar
- Kegiatan Bimbingan dan Konseling
- Kegiatan Ekstrakurikuler
- Kegiatan ketatausahaan
- Kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan instansi terkait
- Sarana dan prasarana
- Kegiatan OSIS
- Kegiatan 10K
5. KEPALA MADRASAH SEBAGAI PEMIMPIN / LEADER
- Dapat dipercaya, jujur dan bertanggung jawab
- Memahami kondisi guru, karyawan dan siswa
- Memiliki visi dan memahami misi sekolah
- Mengambil keputusan intern dan ekstern sekolah
- Membuat, mencari dan memilih gagasan baru
6. KEPALA MADRASAH SEBAGAI INOVATOR
- Melakukan pembaharuan di bidang KBM, BK, Ekstrakurikuler, dan Pengadaan
- Melaksanakan pembinaan guru dan karyawan
- Melakukan pembaharuan dalam menggali sumber daya di Komite Sekolah dan Masyarakat
7. KEPALA MADRASAH SEBAGAI MOTIVATOR
- Mengatur ruang kantor yang konduktif untuk bekerja
- Mengatur ruang kantor yang konduktif untuk KBM / BK
- Mengatur ruang laboratorium yang konduktif untuk praktikum
- Mengatur ruang perpustakaan yang konduktif untuk belajar
- Mengatur halaman / lingkungan sekolah yang sejuk dan teratur
- Menciptakan hubungan kerja yang harmonis sesama guru dan karyawan
- Menciptakan hubungan kerja yang harmonis antar sekolah dan lingkungan
- Menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Sekolah dapat mendelegasikan kepada Wakil kepala Sekolah
Senin, 10 Juni 2013
Mengajar dengan HHT
Seorang guru dalam mengajar diwajibkan pada saat itu memiliki HHT (hati harus tenang), karena kunci sukses ada disana. 1. HHT dapat memberikan konsentrasi penuh pada pengajar dalam hal, menyiapkan bahan yang akan disampaikan, memilih metode yang tepat dan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakter atau usia peserta didik.. 2. HHT dapat mengatasi atau memberikan solosi apabila saat pelajaran berjalan, terdapat gangguan yang tidak terduga, misalnya kekurangan alat peraga, keterbatasan tempat, atau ada gangguan lainnya secara mendadak, bisa dengan segera merubah strategi atau metode mengajar yang setara..3. HHT akan memunculkan ide-ide baru pada saat mengajar seperti ide kreatif sang guru atau pengembangan ilmu secara mendetail sehingga peserta didik puas dengan permasalahan yang disampaikan oleh pengajar.
Jika HHT ini tidak dimiliki sang guru saat dia mengajar, maka 100 persen kegagalan akan didapat, suasana kelas membosankan, pelajaran yang kita sampaikan sia-sia, dan makna suatu pelajaran tidak mereka dapatkan, artinya gagal total, istilah orang bahari " masuk kanan kaluar kiri ".
Jika HHT ini tidak dimiliki sang guru saat dia mengajar, maka 100 persen kegagalan akan didapat, suasana kelas membosankan, pelajaran yang kita sampaikan sia-sia, dan makna suatu pelajaran tidak mereka dapatkan, artinya gagal total, istilah orang bahari " masuk kanan kaluar kiri ".
Langganan:
Postingan (Atom)