Senin, 23 September 2013

Metode Memahami Arti Tawakkal

Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”
Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.
Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49). Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy yang agung.
***

Sabtu, 20 Juli 2013

Hukum Membaca Al Fatihah Seorang Makmum

Hukum Membaca Al-Fatihah Seorang Makmum dalam Shalat Berjamaah -- Read Fatiha law of a congregation in a congregational prayer

4 Agustus 2010 pukul 12:25
Membaca al Fatihah adalah diantara rukun-rukun shalat baik shalat fardhu, sunnah, shalat jahriyah (dikeraskan suaranya) maupun sirriyah (dipelankan suaranya) berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari 'Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang bacaan al Fatihah bagi makmum. Para ulama Maliki dan Hambali mewajibkan membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian namun tidak bagi makmum. Sementara para ulama madzhab Safi’i mewajibkannya bagi imam dan juga makmum.

Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 1740 menyebutkan bahwa pendapat jumhur ulama adalah makmum tidak perlu membaca al Fatihah dan tidak juga membaca yang lainnya (surat) di belakang imam didalam shalat jahriyah apabila dia mendengar bacaan imam. Mereka mendasari pendapatnya dengan :

1. Firman Allah swt :

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ


Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf : 204) Terdapat riwayat bahwa para salafussholeh bahwa maksud dari ayat itu adalah mendengarkan bacaan yang dibaca imam.

2. Hadits Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Apabila dia bertakbir maka bartakbirlah kalian dan apabila dia membaca maka dengarkanlah.” Dan hadits ini terdapat di al Musnad dan yang lainnya dinukil dari Imam Muslim yang telah dishahihkan.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib membaca al Fatihah bagi makmum baik didalam shalat jahriyah maupun sirriyah dibelakang imam berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan tentang kewajiban membaca al Fatihah tanpa membedakan antara imam dan makmum, sebagaimana hadits di ash shahihain dan lainnya dari Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi saw bersabda,”Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."

Dan yang lebih tegas lagi apa yang terdapat di sunan abi Daud, an Nasai dan lainnya dari hadits Ubadah bin ash Shamit bahwa Nabi saw shalat shubuh sepertinya bacaan beliau terasa berat. Seusai shalat, beliau bersabda: "Sepengetahuanku, kalian membaca di belakang imam kalian." Mereka menjawab; "Ya, wahai Rasulullah! (hingga) Kami menyusul bacaanmu dengan cepat." Beliau bersabda: "Jangan kalian lakukan kecuali Fatihatul Kitab (Al Fatihah) karena tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya."

Dari penjelasan diatas tampak bahwa hal tersebut masih menjadi permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama terdahulu maupun yang belakangan. Dan setiap kelompok memiliki dalil-dalilnya, dimana kelompok yang satu membantah kelompok lainnya dengan melemahkan dalil-dalil mereka atau tanpa dalil didalam permasalahan yang diperselisihkan namun hanya bersandar kepada pendapatnya.

Dengan demikian untuk suatu kehati-hatian maka hendaklah seorang makmum membaca al Fatihah di belakang imam didalam shalat-shalat jahriyah dan sirriyah untuk keluar dari perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama itu karena kelompok yang mengatakan wajib membaca al fatihah dibelakang imam memandang batal shalat seorang yang tidak membacanya. (Markaz al Fatwa No. 1740)

Dengan demikian jika anda shalat bersama imam dan memiliki kesempatan untuk membaca al fatihah hingga selesai sebelum imam ruku’ maka hendaklah anda membacanya hingga selesai. Akan tetapi jika anda belum selesai membacanya sementara imam sudah bertakbir untuk ruku maka hendaklah anda ruku bersamanya walaupun anda belum menyelesaikan bacaan al Fatihah tersebut dikarenakan tidak mungkinnya menyelesaikan bacaan tersebut, berdasarkan hadits Abu Hurairoh diatas.

Wallahu A’lam

Selasa, 09 Juli 2013

Guru wajib memiliki sikap ramah dan berlemah lembut

Sikap ramah dan berlemah lembut

Allah  telah menggambarkan tentang sifat NabiNya Muhammad S.a.w bahawa sesungguhnya Ia memiliki Akhlak yang Agung.
Firman Allah:                   {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ {4} [سورة  القلم].
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung”.
Allah menggambarkannya juga dengan sifat ramah dan lemah lembut, Allah berfirman :
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ }[سورة آل عمران :159]
“Maka dengan sebab rahmat Allah-lah engkau berlemah-lembut terhadap mereka, dan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu”.
Allah menggambarkannya pula dengan sifat berkasih-sayang dan santun terhadap orang-orang yang beriman, Allah berfirman:
{لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ} [سورة التوبة :128].
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari jenis kalian sendiri, amat berat baginya segala yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan untuk kalian (segala kebaikan), amat santun dan berkasih-sayang terhadap orang-orang yang beriman”.
Dan Rasul S.a.w sendiri pun memerintahkan untuk berlaku lemah-lembut dan menganjurkannya, beliau bersabda:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan, dan sebarkanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu)”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary, no (69) dan Imam Muslim, no (1734) dari hadits Anas.
Dan disebutkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya, hadits no (1732) dari hadits Abu Musa Al Asy’ary dengan lafaz:
((بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا ويَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا )).
“Berikanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu), dan hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (220) dari Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah S.a.w berkata kepada para shahabat dalam kisah seorang badawi yang buang air kecil dalam mesjid Rasulullah S.a.w:
((دَعُوْهُ وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْباً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثُتْم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ)).
“Biarkan ia, dan siramlah di atas kencingnya dengan setimba air, atau semangkuk air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus untuk menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam shohihnya, hadist no (6927) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahawa Rasulullah S.a.w berkata kepadanya:
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan dalam segala urusan”.
Menurut lafaz Imam Muslim, hadits no (2593):
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan, Ia memberi di atas kelembutan sesuatu yang tidak Ia beri dengan kekasaran, dan tidak pula dengan selainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2594) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahawa Nabi S.a.w bersabda:
((إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْـَزعُ عَنْ شَيْءٍ إَلاَّ شَانَهُ)).
“Sesungguhnya kelembutan tidak terdapat pada sesuatu melainkan membuatnya indah, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan membuatnya buruk”.
Dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, hadits no (2592) dari Jariir bin Abdillah r.a bahawa Nabi S.a.w bersabda:      
  ((مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَم.ُ الْخَيْرُ))  
“Barangsiapa yang diharamkan (mempunyai) sifat lemah-lembut bererti ia telah diharamkan terhadap kebaikan”.
Sesungguhnya Allah telah menyuruh dua orang nabi yang mulia; Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyeru Fir’aun dengan sopan dan berlemah-lembut, Allah berfirman:
{اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى {43} فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى {44}[سورة طه]
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui batas (kesesatan), maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mendapat peringatan dan takut (terhadap Allah).
Allah menggambarkan tentang sifat para sahabat yang mulia dengan sifat saling berkasih sayang antara sesama mereka, Allah berfirman:
{مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ} [سورة  الفتح : 29].
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka”.
Ayat dan hadis diatas sudah jelas, sikap ramah dan berlemah lembut harus diterapkan kepada siapa saja dan oleh setiap orang, baik kepada peserta didik maupun kepada sesama pendidik.

Kamis, 13 Juni 2013

Tugas Kepala Madrasah

Tugas Pokok dan Fungsi KAMAD (Kepala Madrasah)

Kepala Madrasah berfungsi dan bertugas sebagai Edukator, Manajer, Administrator, Supervisor, Pemimpin/Leader, Inovator, Motivator
1.  KEPALA MADRASAH SELAKU EDUKATOR
Kepala Sekolah Selaku Edukator bertugas melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif dan efisien (lihat tugas guru)
2.  KEPALA MADRASAH SELAKU MANAJER mempunyai tugas:
  1. Menyusun perencanaan
  2. Mengorganisasikan kegiatan
  3. Mengarahkan kegiatan
  4. Mengkoordinasikan kegiatan
  5. Melaksanakan pengawasan
  6. Melakukan evaluasi terhadap kegiatan
  7. Menentukan kebijaksanaan
  8. Mengadakan rapat
  9. Mengambil keputusan
  10. Mengatur proses belajar mengajar
  11. Mengatur administrasi Ketatausahaan, siswa, ketenangan, sarana dan prasarana, keuangan / RAPBS
  12. Mengatur Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)
  13. Mengatur hubungan sekolah dengan masyarakat dan instansi terkait

3.  KEPALA MADRASAH SELAKU ADMINISTRATOR
Bertugas menyelenggarakan Administrasi : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, kurikulum, kesiswaan, ketatausahaan, ketenagaan, kantor, keuangan, perpustakaan, laboratorium, ruang keterampilan / kesenian, Bimbingan Konseling, UKS, OSIS, serbaguna, media, gudang, 10 K
4.  KEPALA MADRASAH  SELAKU SUPERVISOR
Bertugas menyelenggarakan Supervisi mengenai :
  1. Proses belajar Mengajar
  2. Kegiatan Bimbingan dan Konseling
  3. Kegiatan Ekstrakurikuler
  4. Kegiatan ketatausahaan
  5. Kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan instansi terkait
  6. Sarana dan prasarana
  7. Kegiatan OSIS
  8. Kegiatan 10K
5.  KEPALA MADRASAH  SEBAGAI PEMIMPIN / LEADER
  1. Dapat dipercaya, jujur dan bertanggung jawab
  2. Memahami kondisi guru, karyawan dan siswa
  3. Memiliki visi dan memahami misi sekolah
  4. Mengambil keputusan intern dan ekstern sekolah
  5. Membuat, mencari dan memilih gagasan baru
6.  KEPALA MADRASAH SEBAGAI INOVATOR
  1. Melakukan pembaharuan di bidang KBM, BK, Ekstrakurikuler, dan Pengadaan
  2. Melaksanakan pembinaan guru dan karyawan
  3. Melakukan pembaharuan dalam menggali sumber daya di Komite Sekolah dan Masyarakat
7.  KEPALA MADRASAH SEBAGAI MOTIVATOR
  1. Mengatur ruang  kantor yang konduktif untuk bekerja
  2. Mengatur ruang kantor yang konduktif untuk KBM / BK
  3. Mengatur ruang laboratorium yang konduktif untuk praktikum
  4. Mengatur ruang perpustakaan yang konduktif untuk belajar
  5. Mengatur halaman / lingkungan sekolah yang sejuk dan teratur
  6. Menciptakan hubungan kerja yang harmonis sesama guru dan karyawan
  7. Menciptakan hubungan kerja yang harmonis antar sekolah dan lingkungan
  8. Menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Sekolah dapat mendelegasikan kepada Wakil kepala Sekolah

Senin, 10 Juni 2013

Mengajar dengan HHT

Seorang guru dalam mengajar diwajibkan pada saat itu memiliki HHT (hati harus tenang), karena kunci sukses ada disana. 1. HHT dapat memberikan konsentrasi penuh pada pengajar dalam hal, menyiapkan bahan yang akan disampaikan, memilih metode yang tepat dan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakter atau usia peserta didik.. 2. HHT dapat mengatasi atau memberikan solosi apabila saat pelajaran berjalan, terdapat gangguan yang tidak terduga, misalnya kekurangan alat peraga, keterbatasan tempat, atau ada gangguan lainnya secara mendadak, bisa dengan segera merubah strategi atau metode mengajar yang setara..3. HHT akan memunculkan ide-ide baru pada saat mengajar seperti ide kreatif sang guru atau pengembangan ilmu secara mendetail sehingga peserta didik puas dengan permasalahan yang disampaikan oleh pengajar.
Jika HHT ini tidak dimiliki sang guru saat dia mengajar, maka 100 persen kegagalan akan didapat, suasana kelas membosankan, pelajaran yang kita sampaikan sia-sia, dan makna suatu pelajaran tidak mereka dapatkan, artinya gagal total, istilah orang bahari " masuk kanan kaluar kiri ".